Seleb, Jakarta - Koran Tempo Akhir Pekan, Sabtu, 18 Februari 2017 memuat resensi buku Tesamoko Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko terbitan Gramedia 2016. Berikut kutipan lengkapnya.
+
Buku Tesamoko Tesaurus Bahasa Indonesia edisi kedua ini memang pantas disebut sebagai rumah bagi kata-kata. Penulisnya, Eko Endarmoko, pun menyebut kata sebagai rumah makna, “Dan adab mengajari kita bahwa rumah itu sepatutnyalah necis, tidak peduli siapa atau berapa banyak penghuninya, tidak peduli apakah mereka betah tinggal di sana atau tidak.”
Sebagai penghuni rumah, sudah mafhum kata memiliki cerita perjalanan. Dalam hal ini, pembaca diyakinkan Eko Endarmoko lewat sumber bacaan atau bibliografi. Ada dua buku kamus berkategori tua yang masuk daftar penyusunan Tesamoko: Nieuw Maleisch-Nederlandsch Woerdenboek cetakan kedua (E.J. Brill, 1902) garapan H.C. Klinkert dan Kamoes Bahasa Minangkabau-Bahasa Melajoe-Riau (Balai Poestaka, 1935) garapan M. Thaib St. Pamoentjak.
Bibliografi menentukan usia kata-kata yang ternyata berumur panjang atau maut justru menjemput di usia kata masih belia. Kata-kata yang bertahan tentu lebih berpotensi menghuni rumah. Kita memang sulit mendapati rujukan novel atau koran dan majalah lawas sebagai pertaruhan menemukan kata.
Perjalanan Eko merancang tesaurus sejak edisi pertama tidak hanya terjadi lewat teks, tapi juga ruang berisi obrolan. Goenawan Mohamad dan Jaap Erkelens, perwakilan dari KITLV Jakarta, mensponsori Eko tinggal di Leiden selama Mei-Agustus 2001. Leiden dan segala berbau Indonesia memang ditakdirkan berjodoh. Di Leiden, Eko sempat berdiskusi dengan Hein Steinhauer, dosen bahasa Indonesia, dan Susi Moeimam dari kantor KITLV di Leiden.
Perpustakaan Universitas Leiden dan kantor KITLV Leiden menjadi naungan kerja kata-kata. Selebihnya, Tesamoko menerakan jejak perjalanan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Komunitas Utan Kayu, Komunitas Salihara, kantor majalah Tempo saat masih berkantor di Kebayoran Baru, kantor hukum LGS (Lubis Ganie Surowidjojo) di lantai 30 Menara Imperium, Kuningan, Jakarta. Akhirnya, Tesamoko mengalami kelahiran sepenuhnya di Indonesia.
Pengakuan Eko Endarmoko di Kompas (25 Oktober 2016) menyatakan bahwa perbaikan di edisi kedua tidak hanya menyangkut penambahan lema dan sublema, tapi juga penghilangan lema atau pengartian yang bias gender. Dipastikan edisi kedua ini tampak lebih gembrot, memuat 29.866 lema-sublema dan 4.106 di antaranya baru. Sementara kamus menawarkan pengertian kosakata, tesaurus memberi kosakata yang menadah makna. Kita mungkin menemukan kata-kata yang sama sekali asing atau keterlaluan akrab. Kata-kata itu bisa dibaca lagi, digunakan kembali, atau sekadar diziarahi. Ada kembaran kata atau sinonim yang bisa ditemukan sebagai bekal berbahasa yang ekspresif. Ada juga kata yang mengingatkan pada penulis atau pengarang idola sebagai pemilik sah karena menunjukkan kekhasan kata-kata diri.
Dalam jejak perkamusan, kita tidak memungkiri betapa nahas nasib kamus bahasa Indonesia atau pelbagai jenis kamus sinonim. Biasanya, kita hanya sempat memiliki kamus sejenak saja semasa sekolah dengan predikat peminjam. Sialnya, status peminjam pun tidak bisa peminjam penuh, tapi cukup status peminjam yang membaca di tempat. Entah takut rusak dan hilang atau jumlah yang amat sangat terbatas, kita jarang dibiarkan mewaktu bersama kata-kata di kamus. Jam buka perpustakaan umum juga meringkus pemustaka menjadi peminjam kamus sejenak di tempat. Kita jadi tergoda melacak dunia kepenulisan esai atau makalah kekinian siapa saja yang kukuh menjadikan kamus atau tesaurus sebagai referensi di luar ketemaan bahasa.
Sungguh melankolis saat Tesamoko yang bisa menjadi rujukan memecah monotonisme berbahasa pada akhirnya hanya terpajang kaku di lemari kaca, tidak bisa dipinjam karena tidak menyandang predikat sebagai buku bacaan umum. Pemerintah juga tidak mungkin membagikan gratis kepada setiap keluarga Indonesia demi memperbaiki biografi berbahasa. Nasib Tesamoko berisiko layaknya kamus atau ensiklopedia setebal bantal yang berakhir pada kesepian waktu. Padahal Tesamoko tak ingkar melibatkan para ahli linguis bergelar profesor, dosen, editor, dan juga penulis dalam prosesi penggarapan.
Lantas, siapa yang kuat memiliki Tesamoko Tesaurus Bahasa Indonesia? Kamus bahasa Indonesia saja terkadang begitu sepele untuk tidak perlu dimiliki. Riwayat suka-duka berbahasa Indonesia orang-orang Indonesia jarang ditahbiskan oleh kamus. Bahkan dosen atau mahasiswa bahasa belum terjamin punya. Jika pihak paling berotoritas mengurusi bahasa nekat menjalankan sensus kamus, mereka pasti menemukan kenyataan bahwa kamus bahasa Inggris lebih banyak mengambil peran. * Setyaningsih, penulis dan redaktur buletin resensi Bukulah!
+
TESAMOKO TESAURUS BAHASA INDONESIA (Edisi Kedua)
Penulis : Eko Endarmoko
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, April 2016
Jumlah halaman: xxix + 802 halaman
ISBN : 978-602-03-2577-4
0 komentar:
Post a Comment