Bisnis, Jakarta - Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono membantah anggapan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara serta dua aturan turunannya, yaitu Peraturan Menteri Energi Nomor 5 dan Permen Energi Nomor 6 Tahun 2017, adalah sebuah keringanan bagi mereka yang bersikeras tetap mengekspor konsentrat. Sebaliknya, kata ia, aturan baru ini bakal membuat perusahaan menderita.

"Ekspor kan dikenai BK (bea keluar). Itu 10 persen. Jadi perusahaan sebenarnya akan sangat menderita," ucap Bambang dalam diskusi perihal PP Minerba di Kuningan, Jakarta Pusat, Sabtu, 21 Januari 2017.

Sebagaimana diketahui, PP Minerba beserta dua aturan turunannya tersebut menegaskan kembali bahwa perusahaan pertambangan pemegang kontrak karya (KK) di Indonesia harus memurnikan mineral di Indonesia dengan membangun smelter alias tidak boleh melakukan ekspor konsentrat. Apabila tetap ingin melakukan ekspor konsentrat, perusahaan itu harus mengubah KK yang dipegang menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Setelah memegang IUPK, izin melakukan ekspor konsentrat itu akan berlaku lima tahun dan diikuti dengan komitmen membangun smelter. Adapun untuk ekspornya akan dikenai bea keluar maksimum 10 persen sesuai dengan progress fisik dan realisasi keuangan pembangunan smelter.

Bambang menuturkan BK 10 persen tersebut diatur bukan tanpa pertimbangan. Sebaliknya, tutur ia, hal itu untuk merangsang para perusahaan tambang segera membangun smelter atau tempat pemurnian mineral. Semakin cepat smelter dibangun, akan semakin ringan beban yang harus ditanggung perusahaan.

"Jadi bukan seolah-olah pemberian izin membuat ekspor itu bebas, tidak. Semua ini sudah ada persyaratan, dan semua itu ketat. Kuota dibatasi, pengawasan ketat, syarat ketat juga. Saya enggak yakin ekspor tahun ini bakal segede tahun lalu," ujarnya.

ISTMAN M.P.